Tenaga Teknis Kefarmasian
ini tidak akan selesai selama pelaksananya dilapangan tidak sesuai
dengan ketentuan. Yah, percuma aja gaji setinggi langit kalau kenyataan
dilapangan ada aja yang mau nerima gaji dibawah standar. Anehnya yang
disalahin bukannya penerima gaji dibawah standar atau pemberi gaji itu,
tapi PAFI sebagai organisasi TTK
juga dibawa-bawa. Ngerti kan, anehnya kenapa! Aneh bahwa pemerintah
sudah dengan tegas menetapkan UMR, tapi karena pengusaha dan pekerja ga
mematuhi malah organisasi yang disalahin. Masih mending kalau yang yang
membawa-bawa tersebut aktif di organisasi untuk membantu, kalau cuma
nunjuk-nunjuk doang yah gimana gitu. Tapi disini saya bukan hanya ingin
menunjukkan permasalah, tetapi juga memberikan sesuatu yang bisa
dicontoh dari rekan kita di SULSEL agar standarisasi upah TTK ini dapat terlaksana dilapangan dengan baik.
Upah Minimum Regional, Upah Minimum Propinsi, dan Upah Minimum Kota/Kabupaten; merupakan standarisasi gaji bagi seluruh tenga kerja di indonesia. Dari namanya, saya kira udah pada mengerti kan perbedaan ketiga jenis standar upah tersebut. Karena sifatnya yang umum ini, maka biasanya seluruh tenaga kerja mematok besaran yang demikian diatur dalam standarisasi tersebut. Termasuk kita yang berkerja dibidang farmasi, berkeingingan agar minimum sama dengan batas minimal UMR. Juga kita mengetahui banyak alasan mengapa banyak diantara kita yang mau saja menerima gaji dibawah standar. Ada yang berasalan baru bekerja/ lulus pendidikan, kerja sambilan, sebagai bantu loncatan, dan lain lain. Karena sifat kontrak kerja yang hanya mengikat antara pekerja dan pengusaha, maka sudah sewajarnya aparat yang berwenang tidak dapat berkutik sebelum salah satu pihak mengajukan keberatan. Tapi apa benarkah kita akan mengajukan keberatan bila merasa diberi upah yang tidak layak? kebanyakan sih berhenti dan mencari kerja lain, ya ngaa.
Baik, sebagaimana saya sebut diatas bahwa saya ingin memberikan sebuah contoh yang memungkinkan penerapan dilapangan bisa lebih baik antara kita TTK sebagai pekerja dan pengusaha. Contoh ini saya inspirasikan dari Rakerda IAI Propinsi Sulawesi Selatan tanggal 25 Oktober 2011 kemarin. Rakerda IAI SULSEL diagendakan untuk melantik 75 pengurus baru. Banyak ya? Kalau menurut saya sih itu bagus, karena semakin banyak maka semakin kecil terjadi bentrokan kepentingan. Lho kok? Maksudnya, ya tau sendirilah yang namanya organisasi non profit. Pengurusnya harus bekerja dengan mental keiklasan, tanpa digaji. Plus sebagai manusia yang perlu mencari nafkah juga, yang bekerja mungkin bisa di 3 tempat berbeda. Kemudian diminta waktunya untuk mengabdi dan berkarya melalui organisasi, tentunya akan banyak terjadi bentrokan jam kerja dengan pengurus lainnya. Kalau banyak yang jam kerjanya benturan, sedangkan pertemuan hanya bisa dilaksanakan di satu tempat dan disatu waktu, tentu pertemuan itu tidak dapat terlaksana dengan baik. Nah dengan banyaknya pengurus, saya kira tentu akan lebih memperkecil hambatan tersebut. Percaya dah, ada banyak hal lain yang memerlukan banyak partisipasi dari rekan-rekan semua.
Selain mengagendakan pelantikan kepengurusan, Rakerda IAI SULSEL ini juga dilaksanakan perjanjian kerja sama antara IAI dan GP Farmasi SULSEL. MOU dengan Gabungan Pengusaha Farmasi ini mengenai standarisasi gaji Apoteker dan hak pelayanan obat di Apotek. Rekan-rekan mungkin berpikir, berapa sih gaji Apoteker samapai harus distandarisasi segala! Berikut saya kutip pernyataan ketua terpilih IAI SULSEL Yagkin Padjalangi : “Standarnya nanti tetap mengacu UMP. Selebihnya sesuai kemampuan perusahaan epotek masing-masing. Yang jelas tidak adami gaji (untuk tenaga kerja apotek) yang berada di bawah Rp1 jutaan. Karena selama ini ada yang masih menerima Rp600-700 ribuan perbulan”. Sekedar informasi dari yang saya baca, beliau ini adalah ketua komisi E DPRD SULSEL dari partai GOLKAR . Nah bagi yang kemarin-kemarin suka ngatain bahwa gaji apoteker itu udah diatas standar, silahkan berpikir ulang ya. Serta yakinlah bahwa ini tidak hanya di pekerja bidang farmasi saja. Masih banyak tenaga kerja lain yang mengalami hal yang serupa.
Sekarang rekan semua sudah tau contoh yang saya jadikan acuan sekarang ini. Saya sebut sekarang karena sebenarnya sebelum-sebelumnya – untuk saya pribadi – pernah mencoba melakukan hal yang sama, bahkan dapat lebih baik bila dipahami. Maklum sajalah, yang namanya demokrasi itu kan mengandalakan suara terbanyak. Benar atau salah urusan belakangan . Pada intinya marilah kita berusaha bekerja sama dengan GP Farmasi untuk menyelesaikan masalah gaji TTK ini. Tapi jangan kita jangan hanya bisa menunjuk saja, berilah suatu kontribusi sebagai anggota PAFI, dengan begitu pasti akan berjalan lebih baik. Yang saya maksud hasilnya akan lebih baik daripada MOU IAI-GP Farmasi itu ialah apabila kita bisa mendapatkan standarisasi berdasarkan UMS. Upah Minimum Sektoral ialah standarisasi upah untuk pekerja dibidang tertentu, yang dalam hal ini semoga dapat diberlakukan untuk TTK. Sebagai contoh, pekerja perusahaan tambang lebih besar dari UMR/UMP/UMK karena mereka memiliki UMS tersendiri. Tapi tentunya untuk mendapatkan standarisasi UMS bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan kerjasama antara organsiasi pekerja untuk TTK, kemudian organsiasi pengusaha farmasi, serta juga keterlibatan unsur pemerintah. Bukanlah sesuatu yang mustahilkan bila kita bekerja sama untuk memperolehnya? Hal ini bisa dilakukan berdasarkan daerah, tidak perlu menunggu pusat atau daerah lain. Ok, semoga hal ini dapat menginspirasi rekan semua. Salam PAFI.
Pada kesempatan-kesempatan sebelumnya saya sering menjelaskan bahwa permasalahan gaji Upah Minimum Regional, Upah Minimum Propinsi, dan Upah Minimum Kota/Kabupaten; merupakan standarisasi gaji bagi seluruh tenga kerja di indonesia. Dari namanya, saya kira udah pada mengerti kan perbedaan ketiga jenis standar upah tersebut. Karena sifatnya yang umum ini, maka biasanya seluruh tenaga kerja mematok besaran yang demikian diatur dalam standarisasi tersebut. Termasuk kita yang berkerja dibidang farmasi, berkeingingan agar minimum sama dengan batas minimal UMR. Juga kita mengetahui banyak alasan mengapa banyak diantara kita yang mau saja menerima gaji dibawah standar. Ada yang berasalan baru bekerja/ lulus pendidikan, kerja sambilan, sebagai bantu loncatan, dan lain lain. Karena sifat kontrak kerja yang hanya mengikat antara pekerja dan pengusaha, maka sudah sewajarnya aparat yang berwenang tidak dapat berkutik sebelum salah satu pihak mengajukan keberatan. Tapi apa benarkah kita akan mengajukan keberatan bila merasa diberi upah yang tidak layak? kebanyakan sih berhenti dan mencari kerja lain, ya ngaa.
Baik, sebagaimana saya sebut diatas bahwa saya ingin memberikan sebuah contoh yang memungkinkan penerapan dilapangan bisa lebih baik antara kita TTK sebagai pekerja dan pengusaha. Contoh ini saya inspirasikan dari Rakerda IAI Propinsi Sulawesi Selatan tanggal 25 Oktober 2011 kemarin. Rakerda IAI SULSEL diagendakan untuk melantik 75 pengurus baru. Banyak ya? Kalau menurut saya sih itu bagus, karena semakin banyak maka semakin kecil terjadi bentrokan kepentingan. Lho kok? Maksudnya, ya tau sendirilah yang namanya organisasi non profit. Pengurusnya harus bekerja dengan mental keiklasan, tanpa digaji. Plus sebagai manusia yang perlu mencari nafkah juga, yang bekerja mungkin bisa di 3 tempat berbeda. Kemudian diminta waktunya untuk mengabdi dan berkarya melalui organisasi, tentunya akan banyak terjadi bentrokan jam kerja dengan pengurus lainnya. Kalau banyak yang jam kerjanya benturan, sedangkan pertemuan hanya bisa dilaksanakan di satu tempat dan disatu waktu, tentu pertemuan itu tidak dapat terlaksana dengan baik. Nah dengan banyaknya pengurus, saya kira tentu akan lebih memperkecil hambatan tersebut. Percaya dah, ada banyak hal lain yang memerlukan banyak partisipasi dari rekan-rekan semua.
Selain mengagendakan pelantikan kepengurusan, Rakerda IAI SULSEL ini juga dilaksanakan perjanjian kerja sama antara IAI dan GP Farmasi SULSEL. MOU dengan Gabungan Pengusaha Farmasi ini mengenai standarisasi gaji Apoteker dan hak pelayanan obat di Apotek. Rekan-rekan mungkin berpikir, berapa sih gaji Apoteker samapai harus distandarisasi segala! Berikut saya kutip pernyataan ketua terpilih IAI SULSEL Yagkin Padjalangi : “Standarnya nanti tetap mengacu UMP. Selebihnya sesuai kemampuan perusahaan epotek masing-masing. Yang jelas tidak adami gaji (untuk tenaga kerja apotek) yang berada di bawah Rp1 jutaan. Karena selama ini ada yang masih menerima Rp600-700 ribuan perbulan”. Sekedar informasi dari yang saya baca, beliau ini adalah ketua komisi E DPRD SULSEL dari partai GOLKAR . Nah bagi yang kemarin-kemarin suka ngatain bahwa gaji apoteker itu udah diatas standar, silahkan berpikir ulang ya. Serta yakinlah bahwa ini tidak hanya di pekerja bidang farmasi saja. Masih banyak tenaga kerja lain yang mengalami hal yang serupa.
Sekarang rekan semua sudah tau contoh yang saya jadikan acuan sekarang ini. Saya sebut sekarang karena sebenarnya sebelum-sebelumnya – untuk saya pribadi – pernah mencoba melakukan hal yang sama, bahkan dapat lebih baik bila dipahami. Maklum sajalah, yang namanya demokrasi itu kan mengandalakan suara terbanyak. Benar atau salah urusan belakangan . Pada intinya marilah kita berusaha bekerja sama dengan GP Farmasi untuk menyelesaikan masalah gaji TTK ini. Tapi jangan kita jangan hanya bisa menunjuk saja, berilah suatu kontribusi sebagai anggota PAFI, dengan begitu pasti akan berjalan lebih baik. Yang saya maksud hasilnya akan lebih baik daripada MOU IAI-GP Farmasi itu ialah apabila kita bisa mendapatkan standarisasi berdasarkan UMS. Upah Minimum Sektoral ialah standarisasi upah untuk pekerja dibidang tertentu, yang dalam hal ini semoga dapat diberlakukan untuk TTK. Sebagai contoh, pekerja perusahaan tambang lebih besar dari UMR/UMP/UMK karena mereka memiliki UMS tersendiri. Tapi tentunya untuk mendapatkan standarisasi UMS bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan kerjasama antara organsiasi pekerja untuk TTK, kemudian organsiasi pengusaha farmasi, serta juga keterlibatan unsur pemerintah. Bukanlah sesuatu yang mustahilkan bila kita bekerja sama untuk memperolehnya? Hal ini bisa dilakukan berdasarkan daerah, tidak perlu menunggu pusat atau daerah lain. Ok, semoga hal ini dapat menginspirasi rekan semua. Salam PAFI.